Jumat, 18 Januari 2013

tak setegar matahari

Selamat siang matahari. Akhirnya kau bersinar lagi dengan gagahnya. Aku senang melihatmu begitu. Setidaknya kau bisa mengobati sedikit luka di hatiku.

Tidak. Aku tidak sedang bertengkar. Aku hanya merasa dia menjadi sedikit berbeda. Hanya perasaanku saja? Mungkin saja. Tapi tetap saja sikapnya membuatku sedih.

Aku memang bukan gadis yang cantik. Bukan juga gadis yang menjadi pujaan banyak orang. Bahkan mungkin tidak ada yang dapat dibanggakan dari seorang aku. Tapi aku punya sesuatu yang mungkin tidak orang lain miliki, yaitu ketulusan hati dalam mencintainya. Tapi sepertinya itu tidak berarti (lagi).

Matahari, bagaimana rasanya saat kau merasa tidak lagi dibutuhkan manusia? Saat manusia lebih mengharapkan kehadiran hujan dan bukan dirimu? Menyakitkan? Tentu saja. Sepertinya itu yang sedang aku rasakan. Aku merasa ia mulai tidak membutuhkanku, matahari. Mengapa aku bisa berpikir begitu? Aku juga tidak tahu pasti.


Apa yang aku pikirkan? Entahlah, aku juga tidak tahu. Perasaanku kacau. Sekacau keadaan kota Jakarta akibat mendapat kunjungan yang tak diharapkan dari banjir. Pikiranku keruh bagai genangan air yang membanjiri kotaku. Aku masih berpikir mengapa aku bisa berpikir begitu?

Mungkin  karena sekarang waktu yang ia berikan untukku semakin sedikit. Ya, aku tau dia punya banyak teman bau. Aku pun begitu. Tapi aku tetap mengutamakan dia karena bagiku dia yang terutama di hatiku. Mungkin tidak sebaliknya dengan dia. Aku berpikir, teman jauh lebih berharga untuknya dibanding aku. Matahari, apa aku benar? Semoga saja tidak.

Matahari, aku ingin menjadi sepertimu. Tetap berdiri tegak walau banyak orang yang tidak menginginkanmu. Tapi bagaimana bisa? Aku tak punya kekuatan sebesar itu? Bagaimana aku mendapatkannya? Ah, aku tahu. Bisakah kau meminjamkan sedikit kekuatanmu agar aku tetap bisa berdiri tegak?

Sincerely,


me



Tidak ada komentar:

Posting Komentar